Categories
Post

2020 GLOBAL KOREA SCHOLARSHIP FOR GRADUATE DEGREES RESMI DIBUKA!

Yuk cuss daftar, GKS 2020 udah resmi dibuka!
Silakan check keterangannya disini!

http://studyinkorea.go.kr/en/main.do

dan check di bagian recent article!
Lalu klik article berjudul


2020 Global Korea Scholarship for Graduate Degrees

Berikut informasi dari website studyinkorea.go.kr yg saya quote:

In 2020, Korean Government’s Global Korea Scholarship program aims to invite 1,276 international students from 153 regions who wish to pursue a graduate level degree (master’s or doctoral) or research in Korea.

To be selected as a GKS (KGSP) grantee, an applicant must successfully pass the 1st round of selection managed by the Korean embassy where he or she holds the citizenship or NIIED-designated Korean universities.

Please first check the “2020 GKS-G Application Guidelines”, “2020 GKS-G University Information” and attached files below to learn about the list of countries invited to take part in our program, qualifications, available universities and majors, application procedures, application forms, and further more.

The deadline will be decided by each institution or office that accepts the application documents, i.e. the Korean Embassy, Korean Education Center, or Korean university.

*Application deadline may differ from one country to another or by each university; it is expected to be around mid or late March.
We highly advise you to make sure to check the calls for 2020 GKS application separately announced by relevant institutions or offices.

Wish you all the best!
GKS Team, NIIED

studyinkorea.go.kr

Untuk dokumennya saya attach di sini,
silakan download 🙂


Selamat mendaftar 🙂

Categories
Post

For KGSP Awardee: Tips how to pass TOPIK 5 in 1 year!

KGSP awardees get a benefit of additional â‚©100,000 every month if they pass TOPIK 5 during their degree study. This benefit is called Award for Excellent Korean Language Proficiency.

If in case you pass TOPIK 5 during your first semester of language study, you will be registered for the degree course in the following semester and get the additional benefit right when you start the degree.

In case you pass TOPIK 5 during the 2nd semester of language training, then you have to wait until you finish the 1 year language training and get the benefit after you are registered on your degre program.

Many people think that it is impossible to get TOPIK 5 within one year, but many of my KGSP friends proved otherwise! We got TOPIK 5 nearing the end of our 1 year language study.

Hence, I am writing this tips for GKS awardees, or those who can learn korean full time (at least 6 hours/day). If you are working or doing a part time job, this might not be suitable for you, but feel free to modify the tips based on your needs.

1. Get yourself a course book and a workbook from any native korean institution. We used Yonsei book and it was amazing. Learn 1 chapter a day for around 4 hours (this is how we do it in our language study).

2. Learn at least 20-25 new words everyday. Learn words by topics, for example your book discuss a topic about family, then you can translate all words that you still don’t know in that chapter. Make a good table of the korean words and their translation.

3. Get a study group or at least 1 person who wants to study with you. You will need them to improve your speaking and keeping your motivation and discipline 🙂

4. Have someone as your teacher. Language is never easy if you don’t have someone to teach you. Because language comes with experience and time, hence it’s better to ask someone more experienced if you don’t know something.

Several weeks before the topik exam:

1. Believe yourself that you can get the desired TOPIK score.

2. Familiarise yourself with the topik style, such as the listening, reading, and writing sections.

3. Train yourself with many mock exams! I used to do 1-3 parts of mock exam everyday excluding the class hours.

Good luck with your preparation! 🙂

Categories
Post

Siapkan dirimu untuk GKS 2022!

Hello!

Ngga kerasa udah 2022 aja ya, berarti sebentar lagi bakal ada pembukaan pendaftaran beasiswa GKS. Udah pada mempersiapkan essay belum? Atau masih bingung cara memulai nulis essay gimana?

Buat temen-temen yg masih bingung dan pengen dapet saran atau masukkan untuk essay kalian, langsung check postingan aku di instagram ya!

Biaya pendaftaran bisa ditanyakan lewat e-mail atau DM di Instagram. Ada juga harga khusus e-Book kalau hanya tertarik materi tentang penulisan essay (tanpa feedback dan konsultasi vcall).

Thank you and good luck for the application!

Cheers,

Inna
DĂĽsseldorf, Germany

Categories
Post

Currently reading: The Unwritten Rules of PhD Research, Second Edition

I recently bought a PhD preparation book before I start a new journey as a research assistant in Germany. The title of the book is The Unwritten Rules of PhD Research, Second Edition” by Marian Petre and Gordon Rugg.

This book is actually pretty old, owing to the fact that it was first published in 2004! But I think the information is still relatable to today’s society. Please note that this book was written based on the UK education system, therefore, many of its contents are based on the UK system.

This book includes the very first things we need to know as a PhD student, including the definition of PhD, the skills required to be a good PhD student, the type of PhD, type of supervisors, the networking, the writing skills, conferences, publications, and even things that you should do after you finish your PhD. They are all covered in 17 chapters, written in a casual way hence it is easier to understand.

I am currently going into chapter 4, but I have learned so many things that I have to prepare before I start my PhD journey. Hopefully, I can finish it this month so that I can focus on the research topic after this.

Anyway, this book is of course only capable of giving us information and it is not the one who will train us throughout the PhD life. But at least it can guide us a bit during our survival game in the PhD Jungle for several years.

Categories
Post

5 Tips Mendapatkan IELTS Overall Band Score 7+ Tanpa Les

Sedikit intro tentang pengalaman dan perjuangan test IELTS pertama dan kedua saya. Silakan skip ke tips langsung jika buru-buru karena intronya panjang ?

Halo teman-teman semuanya!

Kali ini aku akan membahas sedikit tentang cara mendapatkan nilai IELTS dengan overall band score di atas 7. Tips ini disesuaikan dengan cara belajar saya, di mana saya kalau ujian biasanya nyiapin dari jauh-jauh hari dan ngga pakai les (mahal atuh, hahaha). Saat IELTS pertama saya (2015), saya otodidak selama 6 bulan, sedangkan untuk IELTS kedua (2020), saya belajar selama 1 bulan. Kenapa jauh banget bedanya? Karena yg pertama adalah IELTS pertama saya dan saya waktu itu bayar pakai tabungan hasil beasiswa, jadi takut banget kalau jelek hahaha (walaupun pada akhirnya setelah hasil ujian keluar, saya tetap diganti orang tua saya).

Sedikit cerita tentang IELTS pertama saya, waktu itu saya punya target skor. Target skor saya tinggi dibandingkan teman-teman saya dan ada yg komentar kalau itu terlalu tinggi. Waktu itu saya ngga menyerah. Saya usahakan sebaik mungkin, nanti urusan hasil Allah yg menentukan. Saya berharap bisa dapet skor impian saya, tapi semisal dapat lebih rendah juga sudah alhamdulillah.

Selama 6 bulan, saya belajar bahasa inggris. Dimulai dari ngobrol bahasa inggris dengan teman, bikin skripsi pake bahasa inggris (dan presentasi jg bahasa inggris), nonton serial barat tanpa subtitle, baca apapun dalam bahasa inggris (misal buku kuliah, artikel, dsb), dan banyak hal lain. Yang jelas saya inggris aja terus supaya terbiasa. Lalu sebulan sebelum ujian, saya siapkan mock test IELTS dan mengerjakan 4 test dalam seminggu. Seminggu sebelum ujian, saya mock test hampir tiap hari. Saya waktu itu anxious banget ya karena ini baru pertama kali, tapi alhamdulillah pas ujian ngga terlalu panik (speaking sm listening agak panik sih, hahaha). Waktu itu saya cuma pasrah, gimana pun hasilnya saya sudah usahakan yg terbaik.

Lalu di hari pengumuman, saya anxious setengah mati. Takut banget dapet jelek, padahal IELTS ini kan mau dipakai untuk daftar beasiswa jadi ngga boleh dibawah 6. Saya keringet dingin dengan tangan bergetar pas berusaha buka hasilnya.

Hasilnya berhasil terbuka, dan saya waktu itu langsung nangis. Karena alhamdulillah banget, atas ijin Allah SWT, saya dapat sesuai dengan harapan saya yg idealis itu. Saya langsung telpon ibu saya sambil nangis dan bilang kalau nilai impian saya tercapai. Ibu saya udah panik karena saya nelpon hampir jam 12 malam sambil nangis, hanya untuk mengetahui bahwa anaknya nangis bahagia, hahaha.

Seorang anak mahasiswa S1 yg ngga punya penghasilan dan hanya berpegang dari saku orang tua serta beasiswa kecil, uang 3 juta itu susah ngumpulinnya. Ngga tau deh waktu itu berapa lama saya nabung sampe rela ngga ganti hp yg udah butut dan makan ngirit-ngirit. Banyak orang yg merasa takut juga ambil IELTS karena biayanya mahal. Saya juga gitu, saya takut tabungan saya terbuang percuma kalau nilainya jelek. Tapi saya sadar, ini demi kebaikan saya juga, karena beasiswa biasanya butuh nilai IELTS. Jadi ya mau ngga mau saya harus korbanin tabungan saya itu. Lalu, ketika perjuangan saya membuahkan hasil yg sesuai dengan harapan saya, saya menangis dan bersyukur banget karena Allah Mungkin ini berkat doa dari Ibu saya, atau doa orang-orang lain, yg jelas saya merasa bahagia banget karena perjuangan saya saat itu ngga sia-sia. Alhamdulillah.

Sama halnya dengan IELTS pertama, di IELTS kedua ini saya punya harapan yg lebih tinggi daripada IELTS pertama. Tapi saya ngerasa saya kurang berusaha, baru belajar satu bulan sebelum ujian, itu aja pake ngelokro, hehehe. Maklum lah sudah IELTS kedua sekarang jadi udah tau gimana rasanya test IELTS. Tapi karena kurangnya perjuangan, saya menjadi cemas kalau hasilnya ngga bagus. Akhirnya saya hanya bisa berharap supaya nilainya ngga dibawah IELTS pertama. Alhamdulillah, dapet overall band score sama persis sama IELTS pertama ? Walaupun agak sedih karena merasa saya ngga ada peningkatan, saya bersyukur banget tetep dapet nilai segitu. Sempet ngerasa juga bahwa manusia itu memang kurang bersyukur, karena saya sudah berdoa, “Yang penting ngga dibawah IELTS pertama.” tapi ujung-ujungnya tetep sedih karena ngga ada kenaikan, hahaha dasar manusia memang ?

Anyway, ngga usah berlama-lama lagi, saya akan paparkan sedikit tips untuk dapat nilai IELTS 7+ tanpa les. Semoga bisa diaplikasikan ke teman-teman juga ya.

Tampilan beranda website edX

1 Ikuti Online Course di edX.com

EDX merupakan online course mirip Khan Academy namun ia lebih ke pelajaran-pelajaran tingkat universitas dan graduate. Saya sering banget belajar dari sini karena bisa belajar dari universitas terkenal di dunia seperti MIT, EPFL, dan UQ dengan gratis.

Untuk IELTS kedua kemarin, saya belajar dari sini dan merasakan khasiat yg luar biasa. Tips nya pro banget, mirip dengan kalau kalian ambil les. Kenapa saya bisa membandingkan padahal saya ngga les IELTS? Kebetulan ada teman saya yg ambil les dan sahabat saya ini berbaik hati meminjamkan materi kepada saya (walaupun pas itu udah 1 minggu sebelum ujian). Saya skim materinya dan ternyata memang mirip dengan edX, tapi tentu saya lebih lengkap materi dari les teman saya itu.

Tapi menurut saya, kualitas dari learning course di edX ini bener-bener bagus mengingat kita ngga perlu bayar sepeserpun dan bisa belajar dari rumah aja. Fitur-fiturnya juga oke, jadi saat speaking section kita akan diberikan recorder dan pre-recorded question, lalu kita akan jawab sesuai dengan saat ujian. Untuk writing juga kita bisa mendapatkan review dari teman-teman yg juga ambil kelas itu. Tips and trick untuk reading dan listening juga top notch. Latihan soalnya juga dibuat se-interaktif mungkin, membuat belajar kita lebih asik. Saya sampai merasa menyesal kok di tahun 2015 saya ngga nonton ini hahaha.

Anyway, this is a must kalau kalian mau ambil IELTS ya. Kelas berikutnya dibuka Februari 2020, jangan sampai kelewatan. Untuk link nya, silakan sign up atau sign in di EDX lalu klik link ini. Atau bisa juga di search coursenya dengan keyword IELTS Academic Test Preparation.

Selain edX, saya juga merekomendasikan kelas dari futurelearns. Kalau dari futurelearns, kelasnya lebih pasif dibanding edX karena di situs ini mayoritas hanya mendengarkan lecture. Tapi materinya ngga kalah dari edX, jadi patut dicoba juga.

2 Gunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari

Terdengar klise, tp sejujurnya ini memang penting. Di poin kedua ini intinya adalah kita harus membiasakan diri menggunakan bahasa Inggris, entah membaca buku, menonton YouTube/film, mencari resep, menulis journal atau diary, taking notes, dan sebagainya. Saat kita terbiasa menggunakan bahasa Inggris, tentunya vocabulary kita akan lebih beragam dan kita sadar saat ada spelling yg salah. Ngga hanya itu, kita juga akan lebih terbiasa dengan berbagai macam tenses dan bisa menggunakan tenses yg sesuai saat speaking maupun writing. Reading dan listening kita juga akan lebih baik karena terbiasa mengolah sumber dari bahasa Inggris.

3 Cari sample jawaban sesuai dengan band score yg kamu inginkan

Sebelum ujian IELTS, kita wajib punya target score. Target score ini bisa target per section atau overall band score. Kalau saya biasanya bikin target dua-duanya, jadi misalnya seperti ini: band score minimal 7, Lalu persection tidak boleh di bawah 6. Saat kita punya tujuan, kita jadi lebih termotivasi untuk mencapai tujuan itu. Jadi lebih baik selalu punya goal sebelum memulai sesuatu. Nah goal Ini digunakan untuk tips ketiga ini, dimana kamu bisa cari sample jawaban orang-orang yg mendapat band score sesuai keinginan kamu. Contoh queries nya bisa seperti ini:

IELTS writing band score 7, IELTS speaking band score 7. Banyak banget contoh-contoh dari hasil pencarian google ataupun YouTube. Coba dipelajari dan di-recite sehingga terbiasa. Beberapa sample juga menunjukkan kenapa mereka bisa mendapat band score sekian. Bagian tersebut juga lebih baik untuk dibaca supaya lebih paham kriteria yg diperlukan untuk mendapat band score tertentu.

4 Ketahui assessment criteria

Speaking dan writing sections di IELTS mempunyai kriteria masing-masing dalam penilaian. Sebagai contoh, lexical resources, task response, coherence itu ada di writing, sedangkan fluency, pronunciation, grammar and tenses ada di speaking. Dengan mengetahui penilaian ini, kita akan tahu di bagian apa kita harus lebih berhati-hati. Semisal saat kita berbicara, apakah kita sering menggunakan tenses yg salah (harusnya present tapi bilangnya past). Hal ini termasuk fatal karena bisa mengubah makna ucapan kita. Setelah mengetahui kriteria penilaian, kita bisa menilai diri kita sendiri berdasarkan standar yg ditetapkan IELTS.

5 Latihan mengerjakan soal IELTS dengan serius (mock test)

Yang saya maksud serius di sini adalah atmosfer saat mengerjakan mock test haruslah disesuaikan dengan saat ujian sesungguhnya. Jadi, usahakan tidak mengulang listening walaupun terlewatkan, tidak menambah ataupun mengurangi durasi sub test (jadi walaupun writing sudah selesai tapi waktu masih tersisa, tetaplah fokus pada essay Anda), dan saat speaking pun minta tolong orang lain untuk menjadi interviewer Anda.

Usahakan pula kondisi sekeliling Anda dalam keadaan tenang seperti ujian. Siapkan soal listening beforehand sehingga proses listening bisa lancar. Intinya, sebisa mungkin Anda harus terbiasa mengerjakan soal IELTS sesuai dengan keadaan yg akan Anda hadapi.

Untuk banyaknya soal mock test yg harus dikerjakan, saya tidak bisa menentukan angka karena masing-masing individu mempunyai standar yg berbeda. Namun, saya sendiri membuat jadwal dalam 2 minggu sebelum ujian agar setiap harinya saya bisa mengerjakan 1 set mock test, mencangkup reading, listening, dan writing, kemudian untuk speaking biasanya saya gabungkan karena harus menyesuaikan jadwal orang yg saya mintai tolong.

Kemudian, 1 minggu sebelum ujian sesungguhnya, lakukanlah simulasi IELTS di lembaga study yg terpercaya untuk melihat apakah kita sudah bisa memperoleh angka yg kita inginkan. Sehingga, 1 minggu sebelum ujian kita bisa menentukan untuk menambah jam belajar kita atau mengikuti pace yg sebelumnya.

semoga sedikit cerita dan tips ini bisa membantu kalian yg ingin memperoleh nilai IELTS yg bagus tanpa harus mengambil kelas bimbingan. Tentu saja ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan bukan dari mata seseorang coach IELTS, maka dari itu bisa disesuaikan dengan individu masing-masing. Semoga membantu!

Solo, 13 Juli 2020

Categories
Master Study Post

Master Degree Experience: The Struggle and How I Overcame It

This morning, I read some articles shared by my friends on Facebook and this one caught my attention. My first thought after reading this short story was: relatable. Even though I was only pursuing a master’s degree and not a doctoral degree, I found the relation between our experiences.

The earlier time of my master study was difficult, as I had to figure things out alone. I built the project by myself, with the help of a former postdoctoral student from India and with the supervision of my professor. They were helpful, but the absence of the Indian professor as he already went back to his home country made it difficult for me to have an intense discussion. Meanwhile, my professor was always a busy person. It was even difficult for a Ph.D. student to meet him, let alone a mere Master student. Additionally, I was afraid to ask him trivial matters that would make me look ignorant in front of him. So I just worked by myself during the early days of my study.

My supervisor had given me a big topic. It was that I should make something with a certain material that had once been made in our lab. Nevertheless, the specific topic itself wasn’t decided, so I should come up with an idea and propose it to my supervisor. But I wasn’t as easy as it sounds, as the big topic itself was in a different field from what I’ve done in the past. Hence, I had to study from the beginning during the past few months to cook up some ideas.

A semester had already passed and all of my proposals got rejected. It was either my supervisor wasn’t interested in the topic I presented, or that the idea was too difficult to be realized in my lab as we didn’t have the instruments to analyze. Countless rejections made me frustrated and thought I wouldn’t be able to start any experiments until my second year there. Consequently, I couldn’t help but threw any idea that came to my mind even though I was not sure about the impact.

Unsplased by Gery Wibowo

It was like a miracle when suddenly my professor approved my proposal to make noncomposite. I danced with joy, not realizing that it was still a long way to go. I successfully made the first material without so much struggle as I got the recipe from my Indian mentor, then I proceeded with the fabrication of the second material with overflowing confidence.

The thesis topic and idea that was independently built by me soon became a double-edged sword. People thought it was amazing as I came up with the idea by myself. However, as time went by, I realized that it was an idea with so many holes. I started blaming myself for not doing a thorough literature review as I was afraid of not being able to graduate.

The hardships came like rain pouring down my face. I tried to work on a method as I knew that it was safe (I was afraid of using dangerous chemicals). So I tried to replicate methods shown in many papers and even made my procedure by combining several papers. Yet, I was just embracing countless failures for four months.

The hardships came like rain pouring down my face.

It was frustrating; I thought I was an incapable chemist and started blaming myself for taking this road of master degree. I felt real frustration for the first time. I was thinking of just using the first material that I had made and do some variations with it. I even proposed to my supervisor to change the topic. But it was him who trusted me. He said that it’s just a matter of time and I will eventually be able to make the material.

He helped me by contacting the mentor whom I rarely communicated with. My mentor then gave me a paper and asked me to follow the instructions. Nevertheless, I still failed.

It wasn’t until the 3rd try that I could finally see a good pattern of the XRD data, showing a successful formation of the crystal structure that I had long wanted. It was amazing. I cried and thanked God for His enlightenment through my supervisor and my mentor.


But the challenge didn’t stop there. There was still an unknown peak in the XRD of my sample, which means that there was still an impurity that I should get rid of. Fortunately, I had always kept a detailed record of my experiments in my logbook and even the video recording of the experiment on that day. Therefore, I could figure out the variable that might have played a part in the impurity’s formation. After some trials and errors, I finally made the pure material.

As the first and second materials were successfully synthesized, I now came to the part where I had to make the composite. The fabrication of composite was new to me so I tried various types of methods. Again, there were failures everywhere. And it was just a semester before my supposed graduation date so I couldn’t help but feel anxious. My supervisor calmly said that I would be able to make it on time when I let him know my frustration.

Inside, I was like, “It’s only a semester left. I was supposed to be writing the thesis now with all the data collected… Don’t tell me I would still have to gather data just a day before my thesis defense…”

Feeling rushed and helpless, I finally mustered up my courage to ask one of the most senior lab mates in my research group. He was a post-doctoral student from India and someone with the highest standard. I have never approached him before because I thought he worked on a different field from what I’ve been doing. But when I asked him about my problem, he was so experienced that I felt all the knowledge I had gained so far was just a speck of dust in front of him. He then explained that he did similar things during his former studies and that his friend had made the same material as me.

Like a lightning bolt, I was struck with a realization. Why didn’t I ask him sooner? Why did I struggle alone? Why did I not making any discussion with my lab mates? But the pleasure of finding someone you could discuss with had outweighed my regrets in the past. I just felt joy when I found a potential discussion partner even though it was just a semester before the deadline.

Unsplash by Mimi Thian

The discussion was amazing. It helped me open up to new ideas and knowledge. Doing review was not enough as we might have been too concentrated on one subject that the other things become shadowed. I finally could finish my thesis with the help of so many people.

Since then, I had been more open to others. I wasn’t reluctant to seek help or share my problems whenever I was frustrated with something. People won’t suddenly give you a hand when you seem to be okay. You need to reach out to them and let them know that you need their advice.

My discussion sessions were mostly in the laboratory with some experiments taking place in the background. But it was enough to feel refreshed and enlightened again by the sharing of thoughts although without cups of coffee.

Categories
Post

Pengalaman Membuat Deposito di Bank Syariah Mandiri

Logo Bank Syariah Mandiri

Halo readers, kali ini saya akan membahas hal yg sedikit berbeda dari yg biasanya saya tulis, yaitu mengenai finansial: pengalaman membuat deposito di bank syariah mandiri.

Sebagai seorang pemula dalam menginvestasikan uang, saya tak luput dari mencoba deposito. Deposito merupakan investasi yg terkenal paling mudah, dimana kita hanya perlu menitipkan uang di bank untuk jangka waktu tertentu, dan kita akan memperoleh bunga yg lebih besar daripada bunga bank. Bisa dikatakan deposito merupakan jenis investasi yg small risk, small return, investasi aman tapi juga keuntungannya kecil. Hal ini sangat cocok bagi pemula dan orang-orang yg belum pernah main saham seperti saya, karena uangnya hanya didiamkan saja tetapi bisa dapat bagi hasil yg kesannya lumayan.

Sebelum saya membuka deposito di bank syariah mandiri. Saya menyempatkan diri untuk melakukan beberapa riset tentang besarnya bagi hasil di berbagai bank syariah di Indonesia. Namun ternyata, hal ini tak semudah yg saya bayangkan. Di website-website bank syariah tidak dituliskan bagi hasil yg mereka ajukan (katakanlah, bank:nasabah=52:48). Saya tidak menemukan informasi tersebut.

Akhirnya saya mencoba menghubungi secara langsung sebuah bank yang menurut riset saya tergolong baik. Saya menghubungi Bank BNI Syariah.

Bank BNI Syariah sayang sekali tidak merespon telepon saya dengan baik saat saya menanyakan bagi hasil jika membuka deposito. Telepon saya beberapa kali dilempar ke orang lain, ditambah saya harus menunggu lama di nada sambung. Saat menunggu di nada sambung, tiba-tiba telepon saya dimatikan. Saya sangat terkejut, dan hal ini membuat Bank BNI Syariah kehilangan profesionalitas di mata saya. Entah saat itu mereka salah pencet atau bagaimana, saya tidak tahu. Tapi saya sebagai calon nasabah sudah sangat dikecewakan dengan pelayanan buruk melalui telepon.

Akhirnya saya menyerah dan menjatuhkan pilihan ke Bank kedua, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM). Saya menghubungi BSM untuk menanyakan terlebih dahulu apakah tanpa NPWP bisa membuka deposito. Jawaban mereka adalah bisa (sedangkan Bank BNI Syariah tidak bisa tanpa NPWP). Saya tidak pikir panjang dan langsung menuju ke bank beberapa hari kemudian.

Sesampainya di bank, seperti biasa, petugas security akan menanyakan keperluan Anda. Saya hanya menjawab ingin membuka deposito. Selanjutnya saya diarahkan menuju ke CS dan diambilkan nomor antrian. Saya hanya menunggu sebentar karena saat itu tidak banyak klien.

Selanjutnya petugas menanyakan keperluan saya, lalu menjelaskan mengenai deposito, dan memberikan formulir untuk diisi. Dikarenakan saya tidak punya akun di BSM, saya harus membuat akun terlebih dahulu. Siapkan KTP dan NPWP saja. Jika tidak punya NPWP, kita hanya perlu mengisi formulir sebagai keterangan pengganti NPWP. Saya sendiri memilih akun Wadiah (info) karena tidak ada biaya administrasi.

Selanjutnya adalah pembukaan deposito, hanya dengan KTP dan NPWP (jika tidak punya, akan diberikan formulir yg wajib diisi untuk menjelaskan bahwa nasabah tidak punya NPWP). Deposito yg saya ambil adalah bulanan dengan metode ARO dengan rata-rata bagi hasil pertahun adalah 4.3%. Saya bilang rata-rata karena sistem bagi hasil itu tidak bisa menentukan besaran yg pasti. Bagi hasil harus melihat keuntungan bank terlebih dahulu, jadi besar bagi hasil akan berubah-ubah setiap bulan.

Jadi karena saya akan mendepositokan 10jt rupiah, maka saya akan mendapat bagi hasil sebesar 430rb rupiah per tahun. Maka setiap bulan saya akan mendapat sekitar 35rb rupiah. Lebih untung kan ya daripada menabung di Bank?

Selain itu, saya juga memilih untuk mendepositokan selama sebulan, supaya suatu ketika butuh, saya bisa mengambil dengan mudah. Lalu saya mendepositokan dengan metode ARO (automatic roll over), dimana setiap jatuh tempo, deposito saya akan otomatis diperpanjang. Apabila ARO tidak diaktifkan, uang deposito selama satu bulan akan dikembalikan di bulan berikutnya secara utuh dengan bagi hasil yg anda dapat. Tentu saja ada biaya pencairan sekitar 30rb (dan sepertinya juga dengan biaya materai 6rb). Maka dari itu saya mengambil ARO.

Lalu saya juga memilih bagi hasil untuk disimpan ke pokok, dan bukan dikirim ke rekening bank saya. Ini berarti, setiap bulannya bagi hasil yg saya dapat akan dimasukkan ke deposito saya, sehingga deposito awal saya yg hanya 10jt akan berubah menjadi 10.035.000 rupiah.

Namun sayang sekali, staff CS saat itu salah memasukkan kode input sehingga bagi hasil saya bukannya ke pokok tapi malah ke rekening saya.

Untuk bagi hasil yg saya peroleh di bulan pertama ini adalah sekitar 36.716 rupiah. Namun ternyata saya juga ditarik uang sebesar 7.235 rupiah. Saya bingung karena tabungan ini tidak pernah saya pakai, tapi kenapa ada transaksi yg tidak diketahui. Saya langsung menelpon ke call center di 14040. Ternyata, bagi hasil dikenakan pajak sebesar 20%. Wow, besar sekali. Saya merasa tertipu. Karena pada saat pembuatan, saya tidak merasa mendengar besaran pajak hingga 20%. Yang sepertinya saya dengar adalah setelah dipotong pajak, akan mendapat sekitar 4.3%. Hmm, entah saya salah dengar atau bagaimana, tapi saya merasa tidak mendapatkan informasi yg cukup mengenai ini. Mungkin seharusnya bisa lebih ditekankan, atau mungkin lebih baik berikan rata-rata prosentase bagi hasil setelah dipotong pajak. Kalau dikenakan pajak bagi hasil sebesar 20%, maka sebenarnya saya hanya mendapat rata-rata bagi hasil sebesar 3.84%, dan bukan 4.3%.

update: Besarnya pajak 20% ternyata merupakan pajak dari negara apabila kita menyimpan deposito lebih dari 7.5jt. Keterangan lebih lanjut silakan check di sini.

Dikarenakan pengalaman saya ini, saya merasa sangat tidak worth untuk mendepositokan uang ke bank. Bayangkan saya, 10jt untuk sebulan hanya mendapat hasil sekitar 30rb. Walaupun enak karena saya tidak perlu ngapa-ngapain, tapi tetap saja saya merasa ini bukan merupakan investasi yg baik. Belum lagi pengeluaran minimal 30rb untuk mencairkan deposito saya. Hmm, terbuang sudah bagi hasil deposito selama 1 bulan.

Namun walaupun mengetahui betapa kecilnya bagi hasil deposito, saya tidak ada pikiran untuk menarik kembali deposito saya dalam jangka waktu dekat. Hal ini dikarenakan perlunya kita untuk membagi aset ke berbagai jenis investasi, seperti suatu quote: do not put all your eggs  in one basket. Membagi investasi itu perlu, sebagai contoh, simpan uang dalam USD dan mata uang lain selain rupiah untuk mencegah kerugian besar-besaran apabila rupiah anjlok. Lalu simpan dalam deposito dan juga di bank. Uang di bank akan bersifat sebagai cash yg anda bisa pakai kapanpun apabila ada keperluan mendadak, sedangkan uang di deposito untuk berjaga-jaga saja sebagai investasi small-risk-small-return. Akan lebih baik apabila bisa investasi lain seperti reksadana, saham, forex, tanah, atau usaha kecil-kecilan. Pembagian resiko ini sangat penting untuk mencegah kita masuk ke dalam utang apabila salah satu investasi kita gagal.

Demikian pengalaman deposito saya di BSM. Walaupun kecil dan terkena pajak 20%, saya tidak akan menarik uang yg sudah saya investasikan disitu. Tetapi saya dipastikan tidak akan membuat deposito lagi di BSM.

Terima kasih sudah membaca.

 

Yogyakarta, 17 Desember 2019

Categories
Post

7-days of My Life in South Korea: MONDAY was a Dreadful Day

Halo semuanya, kali ini saya akan berbagi sedikit pengalaman tentang bagaimana saya menjalani hari-hari selama saya menempuh program master di Seoul National University. Artikel kali ini mengenai pengalaman lab meeting pada hari senin.

Saya di sini membahas fakta yg terjadi di lapangan, dan hal yg umum diketahui di masyarakat Korea. Saya membuat artikel ini bukan  untuk menjelekkan atau membanding-bandingkan sistem di Indonesia dan di Korea, tapi saya hanya ingin berbagi dari sudut pandang seorang hasiswa international yg pernah menjalani kehidupan Master di Korea Selatan.

Saya sangat appreciate supervisor saya di Korea, dan dari beliau saya belajar banyak hal. Saya bahkan meneteskan air mata saat menuliskan surat terakhir untuk beliau sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Jadi artikel ini tidak ada maksud untuk mengkritisi beliau, tapi hanya untuk share pengalaman saja.

Okay, so without any further ado, I’ll start the first chapter of the 7-days of my life in South Korea, starting from MONDAY!

Photo by Toa Heftiba

Monday was the report day. We had to send a weekly report to my supervisor before 8 am. If we were ‘lucky’, there would also be a whole laboratory meeting on this day.

Senin merupakan hari yang biasanya menjadi momok untuk sebagian besar orang, dikarenakan ketidaksiapan menghadapi 5 hari kedepan sampai akhir minggu kembali datang.

Bagi saya, hari senin sama saja seperti hari lain, tidak ada bedanya.

Yang berbeda hanyalah keharusan saya dan teman-teman lab untuk mengumpulkan laporan mingguan (weekly report). Weekly report ini berisi progress selama satu minggu penuh, yang umumnya berisi experiment results and some literature review.

Weekly report ini biasanya sudah diselesaikan dan dikirimkan pada hari Jumat-Minggu. Sehingga wajar saja kalau hari Senin bukanlah hari yang istimewa bagi kami apabila dibandingkan dengan hari-hari yang lain.

Kecuali…

Kecuali jika ada notifikasi group laboratory di Kakaotalk kami.

Satu kata untuk notifikasi group laboratory: menakutkan.

Saya ngga bercanda.

Selama saya di Korea, dua hal yang paling saya takutkan adalah notifikasi di group laboratory dan kedatangan email dari supervisor.

Kedua ketakutan ini mengalahkan ketakutan akan Korea Utara melemparkan bom nuklir Korea Selatan.

Hal ini dikarenakan, Prof saya terkadang ingin mengadakan laboratory meeting secara mendadak pada hari Senin.

Lab meeting di Korea bukan sesuatu yg kecil, karena kita diharuskan untuk mempresentasikan hasil kita di depan lab member, dan juga di depan supervisor kita.

Alangkah bahagianya kalau supervisor Korea mirip seperti supervisor di Indonesia, yang tutur katanya halus dan jarang sekali membentak. Tapi kenyataan tak seindah harapan.

Supervisor di sini sangat strict akan hasil, jadi apabila kita mempresentasikan hasil yang buruk, maka kita akan dicap gagal dan bisa dimarahi habis-habisan. Hal ini membuat banyak mahasiswa merasa lab meeting itu menakutkan, to the extent ada mahasiswa yg sengaja ngga masuk kalau ada lab meeting.

Saya sendiri sebagai foreigner, tidak pernah dimarahi oleh supervisor saya. Bukan karena hasil saya selalu bagus, tapi karena supervisor saya memang sangat menjaga perasaan international students. Ada rumor yg mengatakan bahwa Prof saya pernah dibantu oleh foreigners pada saat tersesat saat menghadiri suatu konferensi di luar negeri, dan itu membuat Prof saya sangat menghargai foreigners.

Dikarenakan perlakuan yg berbeda terhadap international student, saya jarang merasa takut saat lab meeting. Grogi sih iya, tapi ngga takut dimarahin ? kalau saya dimarahin seperti Prof memarahi orang korea, sepertinya saya udah lepas beasiswa ini karena merasa kerja keras saya tidak dihargai.

Pernah saya ngobrol dengan teman saya dari Thailand,”kalau aku mahasiswa korea, sepertinya aku juga akan takut untuk menghadiri lab meeting.”

Hal ini dikarenakan kebudayaan Korea memang seperti ini. Supervisor atau senior sering kali keras terhadap mahasiswa atau bawahannya. Dan saking hal ini merupakan kebiasaan, orang korea menganggap ini normal dan wajar.

Suatu ketika kami sedang lab meeting, lalu salah seorang senior kami dimarahi habis-habisan. Saya yang bisa berbahasa Korea tidak habis pikir bagaimana dia bisa mengadapi 언어 폭력 (verbal abuse) seperti itu.

Setelah lab meeting, saya beranikan bertanya ke senior saya,”Unnie (re: older sister), kamu ngga apa-apa dimarahi kayak gitu sama, Prof? Kedengerannya kasar banget.”

And then she casually replied,”It’s nothing, he wasn’t that angry.”

Saya hanya bisa terheran-heran.

Setelah beberapa percakapan, saya bisa mengerti mengapa senior saya menganggap itu biasa saja:

It’s their culture.

Photo by Jana Sabeth

Yup, ini dikarenakan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan mereka. Ditambah lagi, saya merupakan orang asing yang memiliki budaya yang berbeda, dibesarkan di lingkungan yang berbeda, dengan cara berinteraksi yang juga berbeda.

Saat saya artikan apa yang diucapkan oleh supervisor saya secara literal ke bahasa Indonesia, kalimat tersebut sangatlah kasar dan jelas akan membuat muka merah padam dan mata berair.

Namun untuk orang korea, kata-kata kasar semacam ini sudah biasa dan taraf ini bukan termasuk marah.

Di sini saya belajar, barangkali perlakuan yang berbeda terhadap foreigners juga dikarenakan perbedaan culture ini. Prof saya sepertinya bersikap hati-hati terhadap orang dengan culture yg berbeda, karena takut akan menyakiti hati kami para international students. Sebaliknya, karena beliau mengenal betul watak orang korea dan kebudayaan masyarakat disini, dimarahi seperti itu merupakan sesuatu yg biasa saja sehingga dia melakukannya.

Bahkan setelah diskusi lebih lanjut ttg hal ini dengan teman lab saya, orang-orang korea di lab saya malah menganggap ini sebagai warming up (pemanasan) sebelum benar-benar dimarahi saat bekerja kelak. Karena tingkat verbal abuse di pekerjaan jauh lebih harsh (kasar) dibanding saat di Universitas. Hm, saya jadi berpikir jangan-jangan Prof saya juga sengaja untuk melatih mental baja anak-anak Korea ?

Anyway, saya sangat bersyukur karena prof saya orangnya bijaksana, jadi sudah memperhitungkan kalau foreigners bisa salah menangkap perkataan Prof saya apabila beliau terlalu kasar.

Banyak juga lho teman-teman Indonesia saya yg sakit hati dikarenakan Prof mereka menyamaratakan orang Indonesia dengan orang Korea. Prof semacam ini benar-benar berkata kasar sampai-sampai saya yg dengar omongannya secara ngga langsung aja miris dan ingin menangis. Beberapa ada yang ngga betah dan akhirnya berhenti dari program mereka. Sedih banget pokoknya tiap denger ada berita kayak gini. Karena kalau saya di posisi mereka, saya juga ngga akan betah dan memilih pulang ke Indonesia.

Teman-teman yg mengalami kejadian serupa… You did your best. It’s okay to give up on something that is not worth. Who knows that giving up might be a better choice?

Nah sekian dulu hari Senin saya.

Pengalaman hari Senin ini mengangkat momok laboratory meeting dan juga budaya orang korea dalam interaksi antara atasan dan bawahan (di lingkup ini adalah Professor dan mahasiswanya).

Saya berharap, sedikit sharing cerita ini bisa menambah wawasan temen-temen semuanya tentang kehidupan di Korea Selatan, terutama di bidang akademik

Yang terakhir, saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau ada kata-kata yang menyinggung perasaan. Saya tidak ada niat untuk buruk dalam penulisan ini.

Sampai ketemu lagi di hari Selasa!

Hari senin ini didedikasikan untuk mereka yang menjalani rough day selama di Korea Selatan, entah sebagai mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, dan sebagainya. You did well.

 

Salam,

Inna
One warm afternoon in my hometown
2019-12-02

Categories
Post

Credential Evaluation: Penyetaraan Ijazah ala Belanda

 

Credential evaluation in the Netherlands

Halo semuanya!
Setelah menyelesaikan studi dari Korea Selatan, saya akhirnya sudah balik ke tanah air tercinta Indonesia, alhamdulillah. Perjuangan 3 tahun berada di negeri orang dan jauh dari keluarga akhirnya terbayar saat saya menerima ijazah dari SNU beserta semua souvenir-souvenirnya.

Setelah pulang ke Indonesia, ijazah dari SNU ini nggak bisa langsung dipakai begitu saja dan harus melewati proses yg dinamakan penyetaraan ijazah. Penyetaraan ijazah ini dimaksudkan untuk melihat ijazah dan nilai-nilai yg kita dapat ini jika dibandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia (atau negara lain) itu seperti apa. karena bisa jadi lho B+ di negara lain dan B+ di Indonesia itu berbeda nilainya, jadi harus disesuaikan jika kita ingin menggunakan ijazah ini di negara lain.

Nah, yang ingin saya cover di blog saya kali ini adalah penyetaraan ijazah ke Belanda. Hasil penyetaraan ijazah ini bisa dipakai untuk mendaftar pekerjaan, perkuliahan, ataupun orientation-year visa di Belanda.

Kalau saya sendiri berniat mencoba peruntungan dengan mendaftar orientation-year visa. Apa itu orientation year visa?

Orientation year visa yang diadakan oleh pemerintah Belanda ini bertujuan untuk menarik orang-orang yg baru saja lulus (3 tahun terakhir) untuk mencari pekerjaan di Belanda. Jadi kasarannya sih, ini namanya job-seeking visa. Untuk syarat universitas mana aja yg boleh mendaftar jenis visa ini, bisa check di website resminya di sini.

Visa jenis ini membutuhkan kita untuk melakukan penyetaraan ijazah versi Belanda yang disebut CREDENTIAL EVALUATION. Sebenernya credential evaluation ini ngga cuma mencangkup ijazah aja, tapi saya fokus ke ijazah (diploma evaluation) dikarenakan saya sendiri apply yg ini, hehe.

Pendaftaran credential evaluation ini tergolong mudah. Kamu hanya perlu baca-baca artikel yg sesuai dengan kondisi kamu, lalu kirim email ke alamat email yg tertera dengan melampirkan dokumen-dokumen yg diperlukan. Selanjutnya tanpa perlu mendapat email konfirmasi, kamu bisa langsung mentransfer biaya pendaftaran (saat itu saya membayar sekitar 149 Euro). Mereka akan mengirimkan email konfirmasi terhadap aplikasi kamu serta pembayarannya juga. Ngga lama kok, hanya menunggu 2 hari waktu itu. Jika ada dokumen yg kurang, mereka juga akan mengabari kita dan selanjutnya kita bisa langsung kirim dokumen tambahannya. Mudah kan?

Nah untuk lama pengerjaannya sendiri tergantung dari paket yang kamu pilih. Saya sendiri pilih paket yg normal, yaitu pengerjaannya membutuhkan waktu 4 minggu (huhuhu sebulan, lama banget ya). Sebenernya yg ekspress juga bisa, yg jalur urgent, yaitu selama 2 minggu. Dan jelas saja, bayarnya juga lebih mahal, di atas 200 Euro. Untuk kalian yg butuh cepat, mungkin bisa ambil paket yg ini.

Credential evaluation wajib dilakukan buat kalian yg ingin mencari pekerjaan di Belanda, ataupun yg sudah mendapatkan pekerjaan di Belanda juga. Yang tertarik silakan check website Credential evaluation yang dikelola oleh SBB dan Nuffic. Websitenya lengkap, jadi baca-baca di situ insyaAllah semuanya lancar 🙂

Jika ada yg masih bingung padahal udah baca-baca semua, silakan mengirimkan email inquiry ke alamat email yg tertera di website credential evaluation dan akan dibalas dalam kurun waktu 5 hari kerja.

Selamat mencoba!

 

2019.11.28 Yogyakarta

Inna

UPDATE: credential evaluationnya lama sekali teman-teman. Setelah menunggu 4 bulan akhirnya saya dapat hasil credential evaluation saya. Jadi ternyata prosesnya adalah sekitar 3 bulan (katanya sih awal tahun kemarin baru sibuk karena banyak pendaftar, makanya lama), dan sekitar beberapa minggu hingga 1 bulan adalah untuk pengiriman dokumen. Jadi dokumen kalian akan dikirim pakai jasa yg bukan kilat ya teman-teman, kan mahal yg express itu seminggu bisa 500-800rb rupiah, sedangkan yg dipakai oleh IDW ini shipping fee nya hanya sekitar 5 Euro. Jadi untuk kalian yg butuh kerja/sekolah lanjutan di belanda, wajib banget ngurus ini jauh-jauh hari sebelumnya.

Categories
Post

After 3 Years of Research: My Perspective

I think research is like caffeine. The more you have it, the more difficult it is to resist the temptation.

This is my short opinion about research.

When you are doing it, you thought thousands of times why you did it in the first place.

What a “great” choice, you might sarcastically say that.

I should have not do this, why did I choose that method,  how am I supposed to deal with this results, how if prof get mad at me, etc etc.

Yes, I might not be a good researcher yet judging from those negative thought about research.

But definitely,  I don’t hate research. Instead, I’m craving more of it now when I have finished my Master degree.

When I did my master degree, I could see the passion burning within myself whenever I do trial and error in my experiments, synthesize my own materials, do the analysis, and I feel the heartbeat rushing while waiting and reading the result.

I was not sure whether those symptoms were just because I have the urge the graduate.

But now after the graduation, I realize that it might be just who I am. I love research.

I know that sometimes (well, many times) the research might not go like how you want it to be. The experiment might have failed halfway cos you forgot to set the timer, the instrument might have been unavailable when you need it, the result might have been as bad as a shipwreck.

Broken heart doing research? well I think every scientists and researchers have experienced this, but it does not (and it should not) stop us from seeking the truth and seeking the right way to do our research.

The most important thing is to keep going and keep asking, keep recording your data, keep being detailed, keep being curious, keep thinking for the possibilities, and keep our mind open, cos that’s will guide us to the truth.

Someday,  you will realize that the sweat of your hardwork, the tears rolling down your cheek, your earnest prayers every night, are worth your time.

You never waste time while doing research, cos every step matters.

Salute for all researchers out there, you can overcome your struggles.

 

Inna Yusnila Khairani

2019.10.20

On Prambanan Express Train